Jumat, 27 Maret 2015

HADIAH UNTUK PEGAWAI

copas dari group WA

Oleh: Dr.  Ahmad Zain An-Najah, MA
(Ketua Majlis Fatwa Dewan Dawah Islamiyah Indonesia)

Banyak orang kini mengenal istilah “gratifikasi”, yakni uang/barang yang diberikan kepada pegawai negeri di luar gaji resmi. Dalam undang-undang Negara, pegawai yang menerima gratifikasi dinyatakan bersalah dan dikatagorikan menerima suap,  kecuali kalau dilaporkan kepada lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bagaimana pandangan Islam terhadap gratifikasi atau hadiah pegawai ini?
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penjelasan Pasal 12 B ayat (1)  gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
 
Dalam pandangan Islam, hadiah untuk pegawai semacam itu memang juga diharamkan.

Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya,  sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan",  sebanyak tiga kali. (HR Bukhari dan Muslim).
       
Berkata Ibnu Abdul Barr dalam at-Tamhid,  2:9,  Hadis tersbeut menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa taala: (yang artinya): Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu  (QS ali-Imran: 361).

Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, 3:313, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa hadis Abu Humaid as-Saidi itu menunjukkan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Itu karena pemberian kepada pegawai (zakat)  tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang wajib zakat, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia memihak kepadanya ketika dalam persidangan.“

Yang termasuk dalam larangan hadis tersebut, misalnya, seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telepun yang terputus atau mengalami gangguan. Dia kemudian menerima atau meminta upah tambahan dari kerjanya dari para pelanggan, padahal, dia sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi hal itu bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak memberikannya sama sekali.

Haram juga, misalnya, seorang pegawai urusan haji yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jamaah haji selama di Mekah dan Madinah, kemudian ia menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dan menilep sisa anggaran. Akibatnya, jamaah haji banyak yang terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang tidak layak dan jauh dari Masjidil Haram. Dan contoh-contoh sejenis.
       
Jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Tergantung pada lembaga tersebut, apakah  akan mengijinkan untuk mengambil hadiah atau tidak. Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaannya sangat memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak berdampak kepada instansi atau lembaga yang mengutusnya. Misalnya, dengan memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai bekerja dan dia tidak lagi membutuhkan pegawai tersebut.

Menurut hemat penulis, sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang. Walaupun demikian, sebaiknya jika seseorang ingin membantunya hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya menjadi lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi menjaga diri dari sesuatu yang  diharamkan dalam Islam.  Wallahu Alam. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar